Abdul Manan (1992) mendefinisikan ekonomi Islam sebagai ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi masyarakat yang diilhami nilai-nilai Islam (syariat). Hasanuz Zaman (1984) mendefinisikan ekonomi Islam sebagai pengetahuan dan aplikasi dari perintah-perintah serta aturan syariah yang mencegah ketidakadilan dalam pemerolehan & pembagian sumber daya material dengan tujuan memenuhi kebutuhan manusia.
Dawam Rahardjo (1999) dalam (Arif, 2012), memilah istilah ekonomi Islam ke dalam tiga kemungkinan pemaknaan:
- Ilmu ekonomi yang berdasarkan nilai atau ajaran Islam;
- Ilmu ekonomi Islam sebagai sebuah sistem. Sistem menyangkut pengaturan kegiatan ekonomi suatu masyarakat tertentu dengan aturan tertentu (nilai Islam);
- Ekonomi Islam dalam pengertian perekonomian yang dilakukan oleh umat Islam.
Adapun, sistem ekonomi adalah sekumpulan institusi yang mengatur, memfasilitasi dan mengkoordinasikan perilaku ekonomi masyarakat. Klasifikasi sistem ekonomi pada umumnya didasarkan kepada empat faktor, yaitu sistem kepemilikan, sistem koordinasi atau alokasi sumber daya, sistem insentif, dan sistem tujuan. Sedangkan, sistem ekonomi Islam dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan, nilai, dan standar perilaku yang mengatur kehidupan ekonomi dan membangun hubungan produksi dalam suatu masyarakat Islam.
Aturan-aturan. Inti dalam sistem Ekonomi Islam diantaranya mencakup pembahasan tentang tata cara perolehan harta kekayaan dan pemanfaatannya baik untuk produksi, kegiatan konsumsi maupun distribusi. Menurut Taqiyuddin An-Nabhani (2009) asas yang dipergunakan untuk membangun sistem ekonomi dalam pandangan Islam terdiri dari tiga pilar yakni;
- Bagaimana harta diperoleh hingga menyangkut kepemilikan (al-milkiyah);
- Bagaimana pengelolaan kepemilikan harta tersebut (tasharruf fil milkiyah);
- Bagaimana distribusi harta tersebut di tengah masyarakat (tauzi’ul tsarwah bayna an-naas).
Sistem ekonomi Islam memiliki konsep penalaran moral dan penggunaan biaya, efisien dan efektif dalam mengatur produksi, distribusi atau pertukaran dan konsumsi, yang dirumuskan berdasarkan prinsip syariah. Sistem ini bertujuan untuk memastikan keadilan sosial dan ekonomi dalam masyarakat dengan mempersempit kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Oleh karena itu, fitur unik dari ekonomi Islam tercermin dalam mekanisme kerjanya, yang diharapkan berakar dalam pada prinsip-prinsip Islam (Chapra, 2001).
Prinsip-prinsip tersebut telah dipraktikkan oleh Nabi Muhammad SAW. dalam kegiatan ekonominya yang kemudian menjadi pedoman masyarakat yang datang sesudahnya. Nilai-nilai kejujuran, keadilan, etika, dan moral, selama mereka berada di koridor hukum Islam, melarang transaksi riba, dan sebagainya. Pada dasarnya sistem ekonomi Islam telah dipraktikkan sejak zaman Nabi Muhammad SAW dan dilanjutkan pada periode sabahat dan beberapa dinasti Islam (Harahap and Ridwan, 2016).
Namun demikian, pengaplikasian nilai Islam dalam aktivitas ekonomi (system ekonomi Islam) pada periode ekonomi modern, baru dimulai sejak empat dekade belakang (Mahri et al., 2021). Penerapan nilai-nilai Islam dalam kegiatan ekonomi pada awal perkembangannya diterapkan terutama di bidang keuangan dan perbankan. Seiring berjalannya waktu, praktik ekonomi Islam terjadi hampir di semua bidang ekonomi dan bisnis, diantaranya modal keuangan, produksi, distribusi, konsumsi, industri, perdagangan, buruh, sumber daya alam, manajemen, dan kesejahteraan (Tho’in, 2015).
Di dalam pelaksanaannya, system ekonomi Islam dibangun berdasarkan nilai-nilai tersendiri yang terintegrasi dalam setiap kegiatan ekonomi. Nilai-nilai ekonomi Islam tersebut didasarkan pada fondasi akidah, akhlak, dan syariah (aturan/ hukum), dapat disarikan dan dirumuskan menjadi 6 (enam) prinsip dasar (guiding principles) dalam system ekonomi syariah (Bank Indonesia, 2019), yaitu:
- Pengendalian Harta Individu
Harta individu harus dikendalikan agar terus mengalir secara produktif.
- Distribusi Pendapatan yang Inklusif
Distribusi kekayaan dan pendapatan dari masyarakat kaya kepada mustahik harus diwujudkan. Tujuan distribusi adalah untuk memastikan bahwa semua kelas sosial memiliki daya beli untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Pendapatan dan peluang dibagi untuk memastikan inklusi keuangan masyarakat secara keseluruhan.
- Bertransaksi Produktif dan Berbagi Hasil
Ekonomi syariah menjunjung tinggi keadilan dan menekankan berbagi hasil dan risiko (profit and risk sharing). Pelarangan atas riba dapat memperbesar wilayah kelayakan investasi menjadi lebih optimal. Hal ini akan mendorong pergerakan perekonomian untuk terus aktif dan pada gilirannya akan menyerap lebih banyak tenaga kerja. Semakin banyak tenaga kerja yang terserap oleh pasar, semakin banyak aliran produksi, distribusi, dan konsumsi yang terjadi.
- Transaksi keuangan terkait erat sektor riil
Ekonomi syariah mensyaratkan bahwa setiap transaksi keuangan harus berdasarkan transaksi di sektor riil. Menurut. transaksi keuangan hanya terjadi jika ada transaksi sektor riil yang perlu difasilitasi oleh transaksi keuangan. Sektor keuangan ada untuk memfasilitasi sektor riil, seperti ungkapan money follow the trade dan tidak sebaliknya. Penerapan prinsip dasar ini akan menghindari financial bubble yang kerap terjadi pada ekonomi konvensional.
- Partisipasi Sosial untuk Kepentingan Publik
Implementasi dari prinsip dasar ini jika dikelola secara optimal dan produktif akan menambah sumber daya publik dalam kegiatan aktif perekonomian. Pengelolaan dan implementasi zakat, infak, sedekah, dan wakaf (ZISWAF) secara optimal, misalnya, dapat memberikan dampak positif berantai bagi perekonomian. Ziswaf dapat meningkatkan daya beli masyarakat, yang berimplikasi pada meningkatnya supply barang dan jasa. Ini kemudian berimbas pada peningkatan produksi, dan juga pasokan bahan baku.
- Bertransaksi atas Kerja Sama dan Keadilan
Sejalan dengan nilai-nilai ekonomi Islam yang menjunjung tinggi keadilan, kerja sama dan keseimbangan, setiap transaksi muamalah, khususnya transaksi perdagangan dan pertukaran dalam perekonomian, harus mematuhi peraturan yang telah ditetapkan dalam syariat.
Aturan yang lebih khusus dalam mengatur transaksi perdagangan, telah ditetapkan langsung oleh Rasulullah SAW, yaitu:
- Kebebasan pertukaran
- Pasar merupakan tempat pertukaran
- Campur tangan dalam proses penawaran (supply) sebelum berada di pasar tidak diperbolehkan karena dapat mengganggu kepentingan awal penjual maupun pembeli (tengkulak dilarang).
- Pasar bebas; tidak ada batasan area perdagangan (antar-daerah, antar-negara) tanpa tarif/pajak ataupun price control.
- Kelengkapan kontrak transaksi; setiap kontrak harus memuat hak dan kewajiban, pertukaran kepemilikan dan aturan lainnya secara lengkap.
- Kewenangan pihak otoritas dan penegak hukum ditegakkan untuk menjaga kepatuhan atas aturan maupun kontrak.